Kenalkan
namaku, Laila Humaira. Teman-teman sering memanggilku, Laila atau
cukup dipanggil Ila. Aku cewek bertubuh kecil, berkulit sawo matang, dengan
mata yang bersinar, banyak orang bilang aku orangnya imut, supel, banyak
bicara, lucu, dan suka makan. Tapi, itu dulu sewaktu aku masih duduk di bangku
sekolah dasar. Dan sekarang, aku sudah tumbuh menjadi cewek remaja yang cantik,
manis, ramah, sopan, dan tegar menghadapi cobaan. Banyak lika-liku kehidupan
yang telah aku jalani. Dari yang menyenangkan, menyedihkan, mengharukan, dan
masih banyak lagi.
Cinta. Cinta. Cinta. Satu kata
yang bisa mengubah pribadi seseorang. Cinta pertama memang sulit untuk
dilupakan. Bohong! Bila orang bisa melupakan cinta pertamanya. Pastilah ada
sedikit rasa sayang yang masih bersarang dalam diri orang tersebut. Banyak
orang bilang, aku sudah bisa melupakan Ali. Tapi sejujurnya, sulit rasanya
untuk melupakan dia.
Berawal dari cinta monyet. Cinta yang
tumbuh sejak aku kecil. Tepatnya kelas 4 Sekolah Dasar. Wow! Hebat bukan? Anak
sekecil itu sudah bisa merasakan getaran-getaran cinta. Saat itu, tak sengaja
pandangan kami saling bertemu. Satu detik, dua detik, tiga detik...... Rasanya
ada yang berbeda dari makna tatapan itu. Dulu, langkahku masih malu-malu. Aku
sangat tertutup dengan laki-laki. Aku merasa malu bila bertemu dengan
laki-laki. Terutama dengan Ali. Kutundukkan kepalaku saat bertemu dengannya.
Dadaku panas, hatiku deg-degan, tanganku dingin, dan di perutku serasa ada
ratusan kupu-kupu yang terbang disana. Geli rasanya.
Aku suka curi-curi pandang
kearahnya. Sewaktu di sekolah dulu, kemanapun dia pergi, pandangan mataku
selalu terarah padanya. Dari kelas, menuju koridor, melewati tangga dan berakhir
di serambi masjid. Ketika kumasuki masjid, kulangkahkan kaki kananku. Taklupa
doa masuk masjid kulafalkan bersama dua temanku, Ida dan Ama. Mereka adalah
teman dekatku. Lalu, kuedarkan pandanganku ke sudut-sudut ruangan di dalam
masjid. Dan akhirnya pandanganku berhenti pada satu titik. Titik dimana Ali
berdiri mematung dengan rambut yang basah oleh air wudhu. Kemudian dia sibakkan
rambutnya kebelakang. Lalu diusap wajahnya dan berhenti sejenak untuk menyeru
teman-temannya untuk sholat berjamaah.
Tak kusangka, dia menjadi imam
kami saat itu. Betapa senangnya hatiku. Kucoba untuk mengkhusyukkan sholatku,
walau hanya sholat sunnah dhuha. Aku selalu bersemangat. Karena di saat-saat
seperti itu, aku bisa bertemu dan berjumpa dengannya. Walau aku tak pernah
menyapa bahkan tak pernah mencoba untuk mengobrol dengannya. Tapi, hanya sebuah
senyuman termanis yang selalu kutunjukkan kepadanya, sewaktu kami berpapasan.
Akhirnya, sholat berjamaah telah usai. Kulipat mukena dan sajadahku. Lalu
kuberjalan menuju serambi untuk memakai sepatu. Tak disangkanya, dia ternyata
masih berada disana untuk mengobrol dengan temannya. Tak tahu entah apa yang
dibicarakannya. Setelah selesai aku, berjalan menuju kelasku bersama Ida dan
Ama. Saat itu, posisiku berada diantara mereka berdua. Kubercanda dan sesekali
kulirikkan pandanganku ke Ali. Dia ternyata juga berdiri dan berjalan
dibelakang kami. Sambil tertawa terbahak-bahak karena ulah Baim yang sedang
melucu disampingnya.
Permainan favoritnya adalah, sepak
bola. Dia selalu menjadi andalan kelasnya. Ali dan Baim adalah bintang bola
dikelas 4b. Sedangkan bintang kelasku, 4a adalah Rama dan Ari. 4 orang cowok,
yang selalu dipandang WOW di sekolahku saat itu. Memang kuakui mereka
pintar-pintar. Pintar dalam hal pelajaran maupun unggul di bidang olahraga.
Banyak yang mengidolakan mereka. Namun hanya ada satu yang telah membuatku
terpana oleh ketampanan paras wajahnya. Memang tipe orang berbeda-beda. Dari
keempat cowok tadi. Dialah yang menurutku paling keren. Fahmi Ali Ramadhan.
Dengan rambut model jamur yang
dimilikinya yang selalu bergerak naik turun saat berlari atau menggiring bola,
dan mata yang berukuran sedang yang
seakan-akan selalu memancarkan sinaran yang teduh. Bibir tipis, kulit sawo
matang. Dan satu hal yang paling aku suka adalah melihatnya bermain bola hingga
mengeluarkan keringat di samping wajahnya hingga sebesar jagung. Dia kelihatan
cowok banget.
***
Pagi itu, kudengar gosip yang
menyatakan bahwa Ali menyukai teman sekelasnya, Utik namanya. Yaah, walau
umurku masih seumur jagung, tapi yang kurasakan saat itu adalah, hatiku ngilu.
Seharian aku hampir tak mau keluar kelas kecuali ada sesuatu yang
mengharuskanku keluar. Seperti sholat atau sekedar untuk mengambil makan.
Selebihnya aku hanya di dalam kelas. Hingga akhirnya....
“La, keluar yuk!”ucap Ida
mengagetkanku.
“Yah, males tauk! Dikelas aja”
sahutku menimpali.
“Kamu nggak bosen disini?” Ama
menambahkan.
“Diluar panas, sini aja.” Jawabku sekenanya
sambil memasukkan buku kedalam tas.
“Yah, Ila gitu deh! Nggak temen
ni??? Keluar yuk! Ya ya ya!” jawab Ida sambil menyeret-nyeret lengan bajuku.
“Yaudah deh, terserah kalian aja.”
“Nah, gitu dong. Itu baru yang
namanya temen.”
Kulangkahkan kakiku dengan malas.
Kuharap aku tak bertemu dengan Utik. Dengar namanya saja, kupingku sudah panas.
Ya memang sih, ini bukan salah Utik. Tapi, aku cemburu mendengar berita gosip
itu. Dan kuharap gosip itu tidak benar. Semoga.
DEG! Aku terpaku melihat Ali
sedang berdiri diam menghadap ke arah kami. Aku hanya melemparkan senyum simpul
yang biasanya. Dan betapa bahagianya
aku, Ali membalas dengan senyuman yang super manis. Hatiku, DEG! Serasa ada
kupu-kupu yang menari-nari di perutku lagi. Aku suka bagian ini. Tapi, langsung
kupalingkan mukaku. Dan bergaya sok serius dengan obrolan Ida dan Ama.
Akhirnya, bel pulang berbunyi.
Aku, Rama, Dani, Shyanti,dan ninda pulang bareng. Saat pulang, aku selalu
melewati depan kelasnya. Saat aku berjalan menuju tempat biasa aku menunggu
angkot, kulihat Ali dan Baim sedang duduk ongkang-ongkang sambil bercanda ala
mereka. Aku yang melihat mereka hanya tersenyum melihat tingkahnya.
Aku heran, kenapa mereka tidak
langsung jalan pulang saja. Padahal angkot yang seharusnya Ali tumpangi sudah
berseliweran sejak tadi. Dan Baim hanya tinggal jalan pulang saja. Tapi, buat
apa dipikir. Itu juga nggak masalah bagiku. Aku malah seneng melihat mereka
disana. Dan akhirnya angkotku pun datang. Kami berlima masuk kedalam angkot
yang sama. Aku, Ninda, dan Shyanti duduk dibelakang. Sedangkan Rama dan Dani
duduk di depan dekat dengan sopir. Itu sudah menjadi kebiasaan bagi kami.
Memang benar, aku agak malu dengan yang namanya laki-laki. Tapi, hal itu yang
selalu Sekolah kami ajarkan kepada murid-muridnya. Untuk selalu menjaga
pandangan terhadap lawan jenis.
Aku, Rama, Dani turun di Pakelan.
Sedangkan Shyanti dan Ninda, turun di gangnya masing-masing. Orang tuaku kenal
akrab dengan orang tuanya Rama. Ibuku selalu berpesan dengan Ibunya Rama untuk
selalu pulang bersama. Walau saat pulang bersama, aku jarang untuk mengobrol
dengan mereka. Biasanya, dari pakelan aku meneruskan dengan angkot KMK bercat
merah biru. Tapi, ingin rasanya aku pulang naik bis. Karena bis yang aku
cari-cari tak kunjung datang, Dani yang sudah bosan menunggu meminta Rama untuk
pulang duluan. Tapi, hebatnya Rama, dia memang teman yang setia kawan. Aku
mendengar bisik-bisik mereka.
“Ram, pulang yuk! Capek tau! Udah
nunggu dari tadi. KMK udah banyak yang lewat! Kamutu nunggu apa to? Udah meh lumutan
ni!” ujar Dani dengan sewot.
“Sebentar, nunggu Ila. Diakan
cewek.” Katanya sambil menunjuk-nunjuk kearahku.
Aku yang mendengar bisik-bisik
mereka, hanya tersenyum senang. Tak lama setelah itu, bis yang aku
tunggu-tunggu akhirnya datang juga. Mereka berdua duduk di belakang dan aku
duduk di bagian bangku tengah.
Sesampainya dirumah, kuhempaskan
badanku ke kasur. Baju seragam masih melekat di badanku. Belum sempat aku ganti
baju. Pikiranku melayang saat kejadian tadi pagi. Saat aku mendengar gosip itu. Tapi, apa boleh
buat, aku harus tetap maju. Jangan cengeng atau nyerah dengan hal ini. I must
go on.
***
“..... mau pindah to?”
“iya po?”
Bruk! Kuletakkan tas gendongku di
kursi paling depan. Aku menghampiri Ida dan Ama yang sedang asyik mengobrol
dengan Ely teman kelas sebelah. Ely adalah teman dekat ku juga sekaligus saudara
jauhku. Tapi, karena kelas 4 kita berpisah, yaaa kita jadi jarang ngobrol aja.
Tapi tetep jadi temen kog. Dan saat itu Ely adalah teman dekat Baim dan Ali.
Ely memang orangnya sederhana dan mudah bergaul. Jadi, tak heran, kalau baim
dan Ali jadi teman dekatnya. Aku iri
sih, kalo aja dulu aku sekelas sama Ely. Mesti aku juga jadi temen deket
mereka. Karena dari kelas 1-3 aku selalu sama Ely terus. Yah, tapi mau gimana
lagi. Hal itu telah berlalu.
“DER!”
“Masya Allah, Ila! Kamu tu
ngagetin aku aja!”
“Hehe, kan bercanda to..”
“Eh, La! Kamu tau nggak kalo si
Ali bakalan pindah ke Semarang. Dia ngikut orang tuanya.”
JEDUERRR! Bagaikan petir yang
menyambar langit di pagi yang secerah itu. Aku masih belum percaya dengan kabar
itu. Baru satu minggu yang lalu aku mendengar gosip buruk itu. Tapi, sekarang
gosip yang dulu sudah mulai mereda, eh! Malah sekarang diganti dengan gosip
gila itu. Seketika setelah aku mendengar berita itu, ekspresi wajahku berubah.
Kaget banget!!
“Ha??!! Yang bener? Kok bisa?”
“Haduh! Kan tadi Ely dah jelasin!
Kamu dengerin nggak to?”
“Hehe, oh iya ya!”
Sepertinya, mereka tidak sadar
rengan berubahnya rona wajahku. Memang soal ini, aku tidak banyak cerita dengan
siapapun. Karena aku takut akan ada gosip yang menyebar. Haduh, lemes rasanya
mendengar berita itu. Pindah? Semarang? Aduhh!!! Jauh! Aku pasti akan
merindukan senyumnya, gocekkan bolanya, dan keringat yang selalu membasahi
wajahnya. Aduuuhhhh!!!! Aku nggak mau ini semua terjadi! Ingin rasanya aku bilang, ALI! AKU SUKA KAMU!!!
***
Seminggu sebelum kepindahannya,
Rama dan Ari menggadakan lomba liga sepak bola antar kelas. Itu adalah ajang
liga persaudaraan. Seraya menunggu orang tuanya menggurus surat-surat
kepindahannya, Ali dipaksa oleh teman-teman sekelasnya untuk mengikuti pertandingan
itu. Pada awalnya, dia tidak mau ikut. Tapi, karena hanya tinggal beberapa hari
saja dia tinggal disekolah ini, maka dia tidak mau mengecewakan teman-temannya.
Kelas kami mengeluarkan
jagoan-jagoan yang hebat-hebat. Ari adalah kapten dari kelas kami. Sedangkan,
kelas 4b, Ali lah yang menjadi kaptennya. Dari rumah aku telah menyiapkan
selembar kain putih bekas. Kemarin sepulang sekolah, aku disuruh Ari untuk
membawa kain itu. Katanya dia akan membuat sebuah bendera. Yang bergambarkan
lambang grup kelas kami. Aku setuju-setuju saja. Dan mengiyakan tawarannya. Pagi
ini, aku membawakan pesanannya. Dengan lihainya, Ari menggoreskan cat-cat
bewarna di atas kain putih itu bertuliskan “Ayo Maju!PATANGAR”. PATANGAR adalah
kependekan dari “emPAT A saNGAR”. Dengan bangganya, Ari menempatkan
bendera itu disamping gawang kami.
Pertarungan pun dimulai. Aku, Ida,
Ama, dan Ely yang duduk disampingku, setia melihat pertandingan itu. Sesekali
kami berteriak karena jagoan kami hampir memasukkan gol kearah lawan.
“El, kamu jagoin yang mana?”
Tanyaku sambil melihat Ali menggiring bola.
“Wah, nggak usah ditanya! Jelas 4b
dong! Kalau kamu, La” jawabnya sambil makan bekal siangnya.
“Aku? Emm,,, yang mana ya?? Aku
bingung!”
“Kenapa bingung? Kan tinggal
bilang aja kamu jagoin kelas kita, 4a. Iya nggak, Ma?”
“Iya La, kamu nggak mihak kelasnya
sendiri?”
“Hem, gimana ya?? Aku bingung!”
“Yah, nggak setia kawan ni!”
“Ehm, yaudah deh, aku dukung kelas
kita! Ayo PATANGAR! Semangat!!!”
Sebenarnya, aku benar-benar
bingung mau memilih yang mana. Kelasku atau Ali. Tapi, bagiku siapa yang
menang, siapa yang kalah, yang penting aku tetap dukung mereka semua. Saat ini,
sedang kulihat Baim memberikan kode kepada Ali untuk mengoper bola kepadanya.
Sret! Operan bola Ali tak meleset. Tepat! Terkena kaki kanan Baim. Baim dengan
sigap menggiring bola ke gawang kelasku. Lagi-lagi dengan kode yang sama, Baim
agaknya mau menendang bola itu ke sebelah kanan gawang. Tapii, tanpa diduga,
dari belakang, Ali berlari dan ternyata, Ali-lah yang akan menendang bola itu
ke sisi kiri gawang. GOOOOL!!! Gawang kelasku kebobolan. Dengan teknik tipuan
Baim dan Ali, kelas 4b menjadi unggul 1 skor dari kelasku. Kedudukan 1-0 untuk
kelas 4b.
Tak gentar, kelasku tetap bermain
dengan santai. Tak terpancing emosi lawan. Pelan tapi pasti. Babak pertama pun
berakhir. Ari, sebagai kapten mengumpulkan teman-teman untuk diajak berunding
dan menyusuun sebuah strategi. Kelas kami, tak mau kalah dengan kelas sebelah.
Pertandingan pun dimulai kembali. Ari, memulai dengan mengoperkan kepada Rama.
Tembakan jitu. Kemudian Rama dengan lihainya menggiring bola hingga melewati 4 pemain dari tim lawan.
Kemudian, dia mengoper kepada Maul. Dengan tendangan jarak jauhnya, Maul
menendang bola tersebut ke gawang lawan. Dan ternyata, bola mematul mengenai
pinggiran gawang. Gol pun gagal dibuat. Tak cukup sampai disitu, kelaskupun
melakukan serangan-serangan susulan. Tapi, hingga sepuluh menit sebelum
pertandingan selesai, kelasku belum membuahkan satu gol pun. Sekarang, posisi
bola ada di kaki Ali. Dan di depan Ali ada Ari yang hendak merebut bola itu.
Dengan sliding-tacklenya Ari, bola berhasil direbutnya. Dan dengan sigapnya,
Ari langsung menedang bola tersebut. Dan akhirnya Gool!! Saking gembiranya, aku
meloncat dan memeluk Ely sahabatku. Ida dan Ama hanya melihatku dengan tatapan
aneh. Tapi, mereka juga ikut senang. Hingga pertandingn berakhir, skor masih
sama yaitu 1-1. Dan kemudian, diteruskan dengan pinalti. Karena ini adalah
pertadingan persahabatan, kami menganggap, kita semua adalah juara. Tidak
peduli menang atau kalah yang terpenting adalah kita semua senang.
Sepulang sekolah, kulihat Ely
tidak langsung pulang, dia bersama teman sekelasnya yang lain masih berada di
sekolah.
“Ly, nggak pulang?”
“Kita mau latian paduan suara,
buat perpisahan kelas untuk Ali besok. Ini ide dari Bu Wati. Dan si Ali nggak
tahu kalau kita ada latihan. Kejutan buat dia”
“Memang, mulai kapan dia pindah
sekolah?”
“3 hari lagi.”
Hatiku berdenyut mendengar kata 3
hari lagi ang keluar dari mulut Ely. Setelah dia menjawabnya, aku langsung
pulang bersama temanku yang sudah menuggu sejak tadi. Seperti biasa, kulihat
Ali masih duduk sendiri di tempat aku menunggu angkot. Tapi, Baim tidak
bersamanya. Tadi, aku masih melihat Baim di sekolah. Sepertinya dia juga ikut
berpartisipasi dalam pesta perpisahan untuk Ali. Dan tanpa ada sapa menyapa,
hanya diam yang menyelimuti pertemuan kita. Angkot yang aku tunggu pun berhenti
di depanku. Kutolehkan kepalaku kepadanya. Senyum kuulumkan pertanda bahwa aku
pulang duluan. Ali kemudian berdiri dan menganggukkan kepala dengan senyum yang
masih seperti biasa. Mungkin suatu saat nanti aku akan merindukannya.
***
Hari yang aku tak nantikan
datangnya pun tiba, hari dimana Ali akan pindah dari sekolahku. Perasaanku saat
itu campur aduk. Antara galau, sedih, bingung, dan bimbang. Saat ini, pelajaran
seni musik. Aku dan teman-teman ditugaskan untuk maju kedepan dan menyayikan
sebuah lagu daerah. Setelah menunggu giliran, akupun maju. Lagu yang
kunyanyikan adalah ‘Buka Pintu’. Saat aku akan memulainya, kutarik nafas
dalam-dalam, kupejamkan mata dan
Buka pintu buka
pintu....
Beta mau mau masuke...
Siolah nona nona beta
Adalah.....
Dimukae....
Jegrek! Kulihat jendela kelas
terbuka dan dari dalam kelas, terlihat kepala temanku menyembul dari luar. Bina
namanya. Dia melihatku, aku yang sedang menyanyi kaget. Dan langsung otomatis
diam. Teman-teman sekelas tertawa melihat tingkahnya. Bina memang terkenal
nyentrik orangnya, dia juga nggak bisa diem, suka ngebanyol, dan lucu banget.
Kalau nggak ada dia kelasnya nggak rame. Kudengar Bina mengatakan bahwa suaraku
merdu. Lalu, Bu Sari menyuruhku untuk menyanyi kembali. Aku pun meneruskan
nyanyianku.
Buka pintu buka
pintu....
Beta mau mau masuke...
Siolah nona nona beta
Adalah.....
Dimukae.... Ada anjing gonggong Betae,,,,
Ada hujan basah.....
DEG! Kulihat Ali dan Baim keluar
kelas dan melihatku. Mereka berhenti di depan pintu kelasku dan melihatku.
Mereka tersenyum dan membuatku grogi. Hingga aku lupa apa yang sedang aku
lakukan. Aku lupa lirik selanjutnya. Lalu aku hanya diam dan memandang Ali. Aku
tersenyum. Bu Sari pun menegurku.
“La, kok berhenti kenapa ? itu
bagus! Lanjutkan! Nggak hafal liriknya?”
“Hehe, itu bu.. Anu bu... itu lho!
Ada Ali sama Baim di pintu. Bikin saya lupa. Hem, iya saya lupa liriknya.. hehe
saya ulang ya bu” akupun menyalahkan mereka.
Mereka yang merasa dituduh,
langsung nggak terima. Tapi, karena nggak mau ambil pusing, mereka langsung
ngibrit ke kelasnya. Sepertinya kelas 4b sedang pelajaran kosong. Dari tadi
kulihat banyak anak yang berseliweran. Dan kudengar mereka berceloteh diluar
kelas mengomentari suaraku dan teman-teman. Untuk suaraku dikomen merdu. Hatiku
senang sekali. Aku mendapat tepuk tangan yang keras dari seisi kelas. Tak
menyangka, teman-temankelas sebelah yang mendengar suaraku juga ikut bertepuk
tangan.
Saat jam makan siang disekolahku,
aku tidak berselera makan. Aku mengantri untuk mengambil makanan di ruang dekat
kantor guru. Kulihat dia sedang asyik makan. Kutundukkan kepalaku, demi menjaga
kehormatanku sebagai wanita. Kuambil makanan dan memilih kelas sebagai tempat
untuk menghabiskan makananku. Makan selesai. Dilanjutkan sholat. Dan jam
terakhir dimulai. Hingga bel pulang berbunyi. Kumemilih tetap tinggal dikelas.
Sekarang sudah separo anak kelas memilih pulang dan sisanya menunggu
detik-detik kepergian Ali, termasuk aku. Akupun keluar kelas. Melihat kelas 4b
sedang menyanyikan lagu untuk Ali. Dan Bu Wati memberikan kenang-kenangan
berupa sebuah tas dan baju bola kesukaan Ali. Barang tersebut hasil patungan
kelas 4b. Aku tahan air mata yang hampir keluar. Dan kemuadian kelas 4b berfoto
bersama. Kulihat, Ali sedang gelisah. Seperti sedang mencari seseorang.
Kuputuskan untuk pulang saja. Kuajak Ninda untuk menemaniku pulang. sedangkan
Rama, Dani, Syanti masih memilih untuk pulang nanti.
Sesampainya dirumah, aku menangis
dan mengambil bantal untuk kubenamkan kepalaku disana. Untung saja, ibu belum
pulang. Nenek dan adikku sepertinya sedang tidur siang. Jadi kutumpahkan semua
isi hatiku. Kuambil buku diary yang kusimpan rapi di dalam wadah kotak di
almari bagian atas. Kucurahkan semua isi hatiku diatas kertas yang bewarna
kelabu karena tetesan air mataku itu. Jegrek! Kudengar suara pintu garasi
dibuka. Langsung kuusap air mataku dan berpura-pura tidur. Walau suara
sesenggukan sisa tangisku kadang masih terdengar, sepertinya ibuku terlalu
capek. Hingga tak menyadari bahwa aku sedang menangis.
***
‘Ayo semangat!
Bangkit! Jangan mau kalah sama dia! Kalu dia bisa aku juga bisa!’
kutanamkan semangat dalam diriku agar aku bisa ceria seperti sedia kala. Kalau
dia pindah dan jadi orang sukses, maka aku juga harus semangat! Agar aku bisa
sukses!
Itu adalah pikiran sewaktu aku SD.
Motivasi yang selalu ibu ajarkan kepadaku. Dan kucoba bangkit dan menanamkan
semangat baru dalam diriku.
***
5 tahun
kemudian.......
Aku sudah hampir lupa dengan Ali.
Memang, pada awalnya, aku masih merindukan dia. Aku sering menanyakan bagaimana
kabar tentangnya dengan Ely. Tapi Ely juga tidak tahu menahu tentang dia. Tapi,
yang membuat aku penasaran tentang dia adalah, siapa yang dia sukai. Ely selalu
kucecar pertanyaan-pertanyaan tentang hal itu. Tapi dia sudah janji untuk tidak
menceritakan kepada siapapun. Oke aku hargai tentang itu. Hingga akhirnya, saat
aku kelas 9. Aku diberi tugas oleh guru converstationku untuk
menceritakan siapa cinta pertamaku dengan bahasa inggris. Dan aku pun teringat
kembali olehnya. Oh, GOD!! Kenangan itu muncul lagi.
Saat pesanren kilat kelas 9, Ely
membeberkan semuanya. Berita yang membuatku kecewa setengah mati. Aku
benar-benar kecewa. Kecewa. Kecewa. Dan kecewa. Ternyata, selama 5 tahun lebih
aku menantikan jawaban dari sebuah teka-teki yang selalu membuatku penasaran,
dan ternyata Ely telah berhasil menutupi sebuah harapan yang selama ini
aku tunggu. Ternyata, Fahmi Ali Ramadhan
yang dulunya lucu dan manis itu telah menyukai gadis belia saat duduk dikelas 4
sd. Gadis yang beruntung tersebut adalah Ila. Yup! Dia Ila. Tepatnya Nadhifa
Nurlaila khoirunisa. Aku yang mendengar berita itu, langsung jatuh terduduk di
lantai Aula SMPku. Saat itu, aku sedang berhalangan untuk tidak sholat. Jadi
kami dikumpulkan di Aula dan tidak
diberi tugas apapun. Hingga akhirnya, aku kaget mendengar berita
tersebut. Kenapa baru sekarang aku tahu? Kenapa Ely tega?! Kakiku bersimpuh,
dengan posisi kepala tertunduk dan kututup wajahku dengan kedua tanganku. Aku
menangis saat itu. Hatiku toba-tiba pilu. I don’t know why.
Aku nggak habis pikir, setega
itukah Ely padaku? Mungkin baginya, hal itu tidak penting, tapi, bagiku, bagiku
itu penting! Gimana enggak? I Love him very much at that time. And
I don’t know, if he loves with me too, it will be so sweet if we know each
other. But now?! Apa? Apa yang aku dapat? APA! Hanya kekecewaan yang ada.
Relung hatiku kembali terisi olehnya. Kilasan-kilasan masa-masa silam itu
seperti hadir kembali dalam benakku. Senyumnya, gigi gingsul dan gigi
kelincinya, rambut jamurnya, I can’t forget him. Until now, I always smile
if I remember about his appearance. His so cute, I think!
Tapi, apaboleh dikata, cinta itu
tidak harus saling memiliki. Dan apabila mungkin sudah jodohnya, nanti juga
pasti akan dipertemukan kembali dengan cara-Nya. Yang terpenting sekarang
adalah, tetap berpikir positif dan maju terus. Dan selalu ciptakan kesan dan
jangan ikuti jejak yang tertinggal!
*selesai*
(^_^)
Nadhifaaaa, sumpah, saya gak bisa berhenti ketawa ini baca ceritamu wkwkwkwk
BalasHapus*duh dek, SD udah ngomongin cinta aja kamu, dhif :p
hayo hati-hati lhoh yah :p
mbak sebenernya ini cerpen udah ada edisi lama. karena lucu, yaudah nana posting..
Hapusmbak baca semua isi blognya Nana ??
saya puber lebih cepat berarti wkwkwkwk
#malu banget ketauan deh..